Minggu, 29 Januari 2017

Seharusnya

Senandung lembut yang mengiringi sore ini sudah sejak tadi terdengar. Nampaknya sumber suara sedang terhanyut pada langit yang perlahan menjadi jingga, ia tak sadar ada satu penonton yang diam-diam mendengarkan. Sembari menyeduh segelas teh panas dan segelas kopi Aku pun turut menikmati peleburan antara petikan gitar dan merdu suaranya. Penghuni sementara villa yang lain sedang sibuk bermain kartu di kamar utama. Memang seperti seharusnya, sekelompok orang yang sudah saling mengenal dekat sejak SMA berkumpul untuk bermain bersama karena nyatanya kehidupan pada jenjang selanjutnya menarik kita ke arah yang berbeda. Namun aku tahu, Ia tidak akan melewati pemandangan senja. 

Dengan dua gelas yang  sama hangat namun berbeda antara teh dan kopi, Kuberanikan diri untuk mendekatinya. Ia sedang duduk di beranda dengan gaya duduk sila yang menjadi kebiasaannya sehari-hari. Kepalanya ia senderkan pada dinding terdekat, terlihat ia memegangi gitar yang menutupi sebagian besar tubuh mungil itu. 

“Teh?” sapaku, ia terkejut dan menoleh.
“Haduh, bikin kaget saja!” 
Aku hanya terkekeh melihatnya terkejut dan berdiri menghadapku.
“Kalau pakai gula, aku gak mau”
“Karena gula adalah pemanis yang menghilangkan rasa teh yang sesungguhnya, yaitu rasa daun, heh ini khusus gak pakai gula untuk Kamu, kayak baru Kamu kenal kemarin saja”
Ia hanya tertawa menaruh gitar di kursi terdekat dan mengambil gelas yang telah kuberikan kepadanya.
“Hahaha iya juga ya, habis sudah lama gak ketemu, kan?” 
Seketika melihatnya tertawa, aku pun turut tertawa dan menyeruput kopi hitam di tanganku.
——

Hari pelepasan SMA adalah hari terakhir kita bertemu sebelum ini. Ketika itu, Aku mengembalikan buku  favoritnya yang sengaja aku pinjam lama-lama karena Aku ingin berbicara dengannya di hari pelepasan untuk yang terakhir kali. Aku ingin mengatakan hal yang tak sanggup Aku ucap ketika melihat matanya. Namun, pada saat aku mengembalikan buku itu, ia harus tampil di atas panggung. Aku menunggu dan menunggu, kata-kata yang ingin kusampaikan sudah kutata begitu baik dirumah, aku harus mengatakannya hari ini fikirku. Lalu pada saat aku sedang mencarinya diantara anak-anak yang sibuk berfoto mengambil kenangan masing-masing, entah mengapa justru ia yang menemukanku. 
“Reno! Ayo kita foto!!” sahutnya dari kejauhan yang mengejutkanku.
“Ayo!” refleks aku tersenyum semangat mengiyakan.
“Yot, tolongin dong fotoin Aku berdua, Makasih ya” 

Ia memberikan handphone-nya kepada salah satu teman kami Yota yang sedang berdiri memegangi bunga kecil. Aku pun mengambil bunga itu dari tangan Yota dan meminta izin untuk meminjamnya sebentar, hanya untuk berfoto. Ia tampak bingung dengan aku yang meminjam bunga itu, namun ia juga tampak tak peduli dan kita pun berfoto bersama. Setelah berfoto, ia langsung pergi meninggalkan Aku, karena ternyata ia harus berfoto dengan teman yang lain. Pada saat itu, Aku tahu, kesempatanku sudah habis. 

——
“Kamu masih suka serial Supernova?” tanyaku penasaran.
“Masih kubaca terus lho sampai sekarang! habisnya Relatable abis!” jawabnya lantang.
“Semangat betul”
“Weee… untuk yang satu itu harus semangat dong?
“Kamu sudah nonton Gintama belum?”
“Hheheh… belum, maaf ya, gak begitu tertarik”
gak apa” jawabku santai, walaupun sebenarnya Aku sedikit kecewa.
“Tapi aku sudah nonton konser Barasuara, Iho!
“Eh? Serius? Gimana? Seru, kan? Seru banget pasti! Tumben kamu mau nonton?”
“Seru banget! konsernya gokil!
“Sudah Aku bilang, kan! kapan-kapan nonton bareng, Yuk”
“……, Yuk”

——


Ia menolak ajakanku pada saat itu. Ia hanya menjawab Aku males ah. Aku tahu, ada sesuatu yang membuatnya menolak ajakanku. Aku tak pernah tahu alasan yang sesungguhnya hingga saat ini. Dia memang begitu. Seseorang yang aku kagumi senyumannya itu, memang seperti itu. Terkadang ia bertindak seperti anak kecil yang sangat bahagia diberikan hadiah kesukaan namun tidak jarang aku mendapatinya merenung di balkon depan kelas seperti sedang memikirkan masa depan yang tidak ada jawaban. Kehidupannya begitu spontan tanpa rencana pasti. Aku begitu khawatir terhadapnya, dan ia tahu itu. Namun, ia selalu bertingkah seperti semuanya akan baik-baik saja. 

Aku harus berulang bicara, ia adalah seseorang yang aku kagumi senyumannya. Sejak aku mengenalnya, tak pernah kupandangi ia ragu untuk tersenyum atau tertawa. Ia adalah orang dengan senyuman paling tulus yang pernah aku tahu. Pernah sekali ia menangis dalam pelukanku, karena harus melepas pergi jabatan pada organisasi sekolah. Ketika itu, aku turut merasa kehancurannya, seperti tercabik-cabik yang menyisakan pilu di sukma ini. Hanya itu satu kenanganku melihat ia tanpa tameng semangatnya yang biasa ia tunjukkan sehari-hari. Sisa kenanganku yang lain adalah ia dengan kepercayaan diri yang mengikutinya kemana-mana. Bersinar terang dengan tawa lepas yang ia tebarkan di setiap sudut ruangan. Begitu ia membuatku mengaguminya dari jauh.

——

Dua gelas minuman hangat itu kini sudah berubah dingin, goresan oranye pun sudah terlihat pada langit yang membentang luas. Kini matahari telah melukis indah pemandangan sore yang lembut ini. Bersamanya, aku bisa bicara jauh tentang hidup. Aku kewalahan bercerita tentang kehidupan baru yang berjarak lebih dari 700.000 meter darinya. Aku semangat bercerita tentang kehidupan mahasiswa teknik yang keras dengan tradisi aneh dan merugikan seluruh pihak. Aku juga bercerita tentang seorang perempuan yang kini selalu menemaniku dan aku jaga baik-baik kehadirannya. Ia sibuk mendengarkan ceritaku, tak sedikit ia memberikan pendapat. Aku merindukannya, Berbicara dengannya memperluas cakrawalaku terhadap dunia. Lewat matanya, Aku tahu bagaimana menjadi rendah untuk meroket. 

“Ren, Aku mau bicara sesuatu yang mengejutkan namun tidak mengejutkan” 
“Apa?”
“Serius kamu mau dengar?”
“Apa?”
Oke.  Dulu Aku sempat berfikir. Seharusnya, pembicaraan kita saat ini tidak begini”
“Maksud Kamu?”
“Kufikir kita akan selalu stay in touch bukan karena sekadar berteman, namun memang kita terpaut oleh rasa.”
“…..”  Aku terhenyak dengan pernyataan itu.
“Bukan asam pedas pahit dan manis, lho,”
Aku tahu yang ia maksud oleh ‘rasa’. Namun, aku hanya bisa tertawa. Melihatku tidak berkata ia melanjutkan.
“Tapi memang begini baiknya. Kamu senang, Aku senang, kita berdua senang walau tidak saling memandang? Cheesy ya?
Aku hanya dapat tertawa ingin rasanya memberanikan diri untuk berucap sesuatu, namun yang tersisa hanya kekosongan belaka. Ia pun melanjutkan lagi.
“Sadar gak sih? seiring waktu berjalan, hal yang kita selalu sebut dengan ‘seharusnya’ seakan-akan berubah menjadi ‘memang begitu’. Aku pelajari ini darimu. Kupelajari bagaimana waktu bermain dengan rasa. Terasa cepat dan mudah ketika Aku sedang terbang ke langit, namun terasa lambat dan sulit bagiku ketika Aku terhempas kembali ke tanah. Dan kali ini, Aku melihat Kamu, semua tidak sama lagi,”
“….”
“Aku senang mendengar ceritamu lagi, kukira Aku akan lebih kehilangan ketika mendengarmu bercerita. Namun, Aku bahagia,”
“Mengapa begitu?”
“Karena memang seperti ini yang seharusnya”.

Langit gelap mulai menyelimuti mentari sore dan bintang pun mulai bermunculan. Pada saat goresan oranye itu menghilang, aku sadar, rasa itu juga menghilang. Tapi satu yang aku yakini, kamu tidak.



Kamis, 29 Desember 2016

"tus"


“tus"
ini cerita sedih, 

“tus”
terlalu menyedihkan, malah membutakan,

“tus”
Aku lupa, mengapa, sejak kapan, darimana dan kepada siapa Aku memeluk
Namun kamu pasti diam 
Karena memang begitu katamu pada setiap tanya yang bergeming,

“tus”
Satu 
Kurelakan tembok itu hilang dalam abu
Dua
Kubiarkan saja terbuka untuk hadirmu
Tiga
Kuratapi lagi jalan beku yang dingin membisu
Empat
Nyata kau tak ada,

“tus”
Kupinta memang tak ada
Seringnya hanya lelah saja
Ingin umpat sana sini
Yang tersisa hanya,

“tus”



Untuk apa aku bertanya lagi, 
Aku juga ingin bahagia

Senin, 10 Oktober 2016

Sekadar

Sekiranya, memang begini adanya
September akan menjadi milikku
Dan kehadiranmu memang hanya sekadar

Sekarang, coba biarkan aku sembunyi
dibalik tawa dan senyum aku menanti

Wahai cinta diam-diam
Aku senang bertemu denganmu lagi

Kamis, 08 September 2016

~Kepada Malam

Saya tidak boleh ya iri?
Tidak boleh sama sekali?
Dengan orang yang punya rambut bagus?
Dengan perempuan yang berhati lembut?
Dengan orang yang beruntung?
Dengan dia, dia yang berparas cantik?
Sungguh tidak boleh?

Kalau begitu baiklah. Saya menyerah.

Sungguh, Saya hanya takut. Saya takut pada mata yang melihat, Saya takut pada bibir yang mencibir, Saya takut pada telinga yang mendengar, Saya takut pada kalian.
Saya takut menjadi kecil diantara orang-orang besar. Kalian. Orang-orang besar. Yang ada, mengelilingi Saya sehari-hari. Saya takut ditinggalkan. Dikucilkan. Direndahkan saat malam buta yang sepi. Meninggalkan saya sendiri dengan kaki kecil yang menanjaki jalan sempit. Berusaha meraih cahaya yang kian terasa menjauh.

Saya kini hanya lelah. Saya lelah berpura-pura. Memasang muka tebal. Senyum lebar dan tatapan yang besinar. Saya hanya lelah.

Tak bisakah saya? yang telah lama berpura-pura, kini hanya sekadar marah? hanya sekadar iri? Saya hanya ingin marah di tengah malam yang sepi tanpa harus menyakiti orang lain. mengumpat seenak jidat pada dunia. Berteriak tanpa meminta tolong. Saya hanya ingin bersuara.

Apakah Saya masih berdosa karenanya?

Rabu, 24 Agustus 2016

tick-tock

I've always wondered if i am brave enough to write in english. Because english is always to the point with a little small talk and also don't forget about the grammar that follows (duh). So here i am, writing in english, and please don't judge me because of the broken english. I just want to express things the way i want it to be, aren't we a free man? not morgan freeman, or dobby the free elf, just simply a human being.

I am seventeen years old and in the edge of starting a new phase. a university life. tick tock, they said,   it happens so fast. i remember a year ago when i'm still wearing that white and grey uniform looking silly and.... because now is august, that means i'm still sad. A deep parting with my little organisation in that greeny feeling. at that time, i realised when everything is ending that is when i have to move on and choose a new path. a new adventure. of which  i am going to enter 5 days from now. i've always asked a question with something like "what do you want?""are you going to take the risk?" "are you brave enough?" "why?" there is too much a pressure on that time for me. it is about the path of my life, the long term of what am i going to do with this lousy, messy, yet still wonderful life. and it never crossed my mind, how scary it is to begin a new 'something'.

tick-tock again. the last year of my senior life, is when everything begins with a farewell. i thought being the senior of the 'senior' in that institution of Labschool, would be the greatest moment in life, and it still true, but i never thought of that many goodbyes. The first goodbyes is with my green organisation, i cried, 17 august 2015, i cried like a little kid losing her family, i cried, but everyone was there, hugging me as if it will be alright. as if, they will always be there, even it won't be the same as before. second farewell is with my dearest class. the last day of class, it was at that brief moment when Bu Choi will called us for the last time, it was when i have to say a sweet farewell to my comfort zone in labschool, it was when i heard Aya was crying, it was when i hold my tears because i still can't believe it that it was the last day of class. the third farewell is with my high school batch. with that round thing hanging on my neck, i wore pink, my favourite colour at that time, as i was walking to the stage, i was thinking about my future, i saw Bu Choi was there, and we're taking the class photo for the last time, it was everything, we're all separated by our own dreams.

but what hurts me the most is, i am no longer be in the same school with my friends. with everybody that i've known for three years. with each and every person of the one who has been the closest to me. i can no longer talking about those korean things that we used to scream a lot about. i can no longer sleeping freely in the back of my class. i can no longer eat at the 'starbucks' and laugh out loud for the silliness of ours. i can no longer hear you guys singing with a guitar or when the radio was playing songs every tuesday and thursday. i can no longer tell you guys about my 'little' story or hearing you guys tells me this 'little story'. the talk, the laugh, the sadness, the silliness, the everythingness. i might miss it forever.

Looking back, I often find myself standing at the balcony in front of my class looking at the trees, the corridor, the stairs, the small board "XII IPA 3", wondering, if i can survive without all of these things. and yet i did survive. i miss it. i miss the wondering. The wondering of not knowing tomorrow will become but still feel at ease because everything is in the grip of my hand. At that moment of 'wondering', the me right now, want to tell her, although i miss it a lot, that i'm doing fine today, and it is all because of you. Thank you.

tick-tock. now is almost the time for a new beginning. a new long, hard journey ahead which has no end. i might struggling and have to fight hard a lot. like, for real. but everybody does, right? wish me luck for this.... *fingercrossed*