Senandung lembut yang mengiringi sore ini sudah sejak tadi terdengar. Nampaknya sumber suara sedang terhanyut pada langit yang perlahan menjadi jingga, ia tak sadar ada satu penonton yang diam-diam mendengarkan. Sembari menyeduh segelas teh panas dan segelas kopi Aku pun turut menikmati peleburan antara petikan gitar dan merdu suaranya. Penghuni sementara villa yang lain sedang sibuk bermain kartu di kamar utama. Memang seperti seharusnya, sekelompok orang yang sudah saling mengenal dekat sejak SMA berkumpul untuk bermain bersama karena nyatanya kehidupan pada jenjang selanjutnya menarik kita ke arah yang berbeda. Namun aku tahu, Ia tidak akan melewati pemandangan senja.
Dengan dua gelas yang sama hangat namun berbeda antara teh dan kopi, Kuberanikan diri untuk mendekatinya. Ia sedang duduk di beranda dengan gaya duduk sila yang menjadi kebiasaannya sehari-hari. Kepalanya ia senderkan pada dinding terdekat, terlihat ia memegangi gitar yang menutupi sebagian besar tubuh mungil itu.
“Teh?” sapaku, ia terkejut dan menoleh.
“Haduh, bikin kaget saja!”
Aku hanya terkekeh melihatnya terkejut dan berdiri menghadapku.
“Kalau pakai gula, aku gak mau”
“Karena gula adalah pemanis yang menghilangkan rasa teh yang sesungguhnya, yaitu rasa daun, heh ini khusus gak pakai gula untuk Kamu, kayak baru Kamu kenal kemarin saja”
Ia hanya tertawa menaruh gitar di kursi terdekat dan mengambil gelas yang telah kuberikan kepadanya.
“Hahaha iya juga ya, habis sudah lama gak ketemu, kan?”
Seketika melihatnya tertawa, aku pun turut tertawa dan menyeruput kopi hitam di tanganku.
——
Hari pelepasan SMA adalah hari terakhir kita bertemu sebelum ini. Ketika itu, Aku mengembalikan buku favoritnya yang sengaja aku pinjam lama-lama karena Aku ingin berbicara dengannya di hari pelepasan untuk yang terakhir kali. Aku ingin mengatakan hal yang tak sanggup Aku ucap ketika melihat matanya. Namun, pada saat aku mengembalikan buku itu, ia harus tampil di atas panggung. Aku menunggu dan menunggu, kata-kata yang ingin kusampaikan sudah kutata begitu baik dirumah, aku harus mengatakannya hari ini fikirku. Lalu pada saat aku sedang mencarinya diantara anak-anak yang sibuk berfoto mengambil kenangan masing-masing, entah mengapa justru ia yang menemukanku.
“Reno! Ayo kita foto!!” sahutnya dari kejauhan yang mengejutkanku.
“Ayo!” refleks aku tersenyum semangat mengiyakan.
“Yot, tolongin dong fotoin Aku berdua, Makasih ya”
Ia memberikan handphone-nya kepada salah satu teman kami Yota yang sedang berdiri memegangi bunga kecil. Aku pun mengambil bunga itu dari tangan Yota dan meminta izin untuk meminjamnya sebentar, hanya untuk berfoto. Ia tampak bingung dengan aku yang meminjam bunga itu, namun ia juga tampak tak peduli dan kita pun berfoto bersama. Setelah berfoto, ia langsung pergi meninggalkan Aku, karena ternyata ia harus berfoto dengan teman yang lain. Pada saat itu, Aku tahu, kesempatanku sudah habis.
——
“Kamu masih suka serial Supernova?” tanyaku penasaran.
“Masih kubaca terus lho sampai sekarang! habisnya Relatable abis!” jawabnya lantang.
“Semangat betul”
“Weee… untuk yang satu itu harus semangat dong?”
“Kamu sudah nonton Gintama belum?”
“Hheheh… belum, maaf ya, gak begitu tertarik”
“gak apa” jawabku santai, walaupun sebenarnya Aku sedikit kecewa.
“Tapi aku sudah nonton konser Barasuara, Iho!”
“Eh? Serius? Gimana? Seru, kan? Seru banget pasti! Tumben kamu mau nonton?”
“Seru banget! konsernya gokil!”
“Sudah Aku bilang, kan! kapan-kapan nonton bareng, Yuk”
“……, Yuk”
——
Ia menolak ajakanku pada saat itu. Ia hanya menjawab Aku males ah. Aku tahu, ada sesuatu yang membuatnya menolak ajakanku. Aku tak pernah tahu alasan yang sesungguhnya hingga saat ini. Dia memang begitu. Seseorang yang aku kagumi senyumannya itu, memang seperti itu. Terkadang ia bertindak seperti anak kecil yang sangat bahagia diberikan hadiah kesukaan namun tidak jarang aku mendapatinya merenung di balkon depan kelas seperti sedang memikirkan masa depan yang tidak ada jawaban. Kehidupannya begitu spontan tanpa rencana pasti. Aku begitu khawatir terhadapnya, dan ia tahu itu. Namun, ia selalu bertingkah seperti semuanya akan baik-baik saja.
Aku harus berulang bicara, ia adalah seseorang yang aku kagumi senyumannya. Sejak aku mengenalnya, tak pernah kupandangi ia ragu untuk tersenyum atau tertawa. Ia adalah orang dengan senyuman paling tulus yang pernah aku tahu. Pernah sekali ia menangis dalam pelukanku, karena harus melepas pergi jabatan pada organisasi sekolah. Ketika itu, aku turut merasa kehancurannya, seperti tercabik-cabik yang menyisakan pilu di sukma ini. Hanya itu satu kenanganku melihat ia tanpa tameng semangatnya yang biasa ia tunjukkan sehari-hari. Sisa kenanganku yang lain adalah ia dengan kepercayaan diri yang mengikutinya kemana-mana. Bersinar terang dengan tawa lepas yang ia tebarkan di setiap sudut ruangan. Begitu ia membuatku mengaguminya dari jauh.
——
Dua gelas minuman hangat itu kini sudah berubah dingin, goresan oranye pun sudah terlihat pada langit yang membentang luas. Kini matahari telah melukis indah pemandangan sore yang lembut ini. Bersamanya, aku bisa bicara jauh tentang hidup. Aku kewalahan bercerita tentang kehidupan baru yang berjarak lebih dari 700.000 meter darinya. Aku semangat bercerita tentang kehidupan mahasiswa teknik yang keras dengan tradisi aneh dan merugikan seluruh pihak. Aku juga bercerita tentang seorang perempuan yang kini selalu menemaniku dan aku jaga baik-baik kehadirannya. Ia sibuk mendengarkan ceritaku, tak sedikit ia memberikan pendapat. Aku merindukannya, Berbicara dengannya memperluas cakrawalaku terhadap dunia. Lewat matanya, Aku tahu bagaimana menjadi rendah untuk meroket.
“Ren, Aku mau bicara sesuatu yang mengejutkan namun tidak mengejutkan”
“Apa?”
“Serius kamu mau dengar?”
“Apa?”
“Oke. Dulu Aku sempat berfikir. Seharusnya, pembicaraan kita saat ini tidak begini”
“Maksud Kamu?”
“Kufikir kita akan selalu stay in touch bukan karena sekadar berteman, namun memang kita terpaut oleh rasa.”
“…..” Aku terhenyak dengan pernyataan itu.
“Bukan asam pedas pahit dan manis, lho,”
Aku tahu yang ia maksud oleh ‘rasa’. Namun, aku hanya bisa tertawa. Melihatku tidak berkata ia melanjutkan.
“Tapi memang begini baiknya. Kamu senang, Aku senang, kita berdua senang walau tidak saling memandang? Cheesy ya?”
Aku hanya dapat tertawa ingin rasanya memberanikan diri untuk berucap sesuatu, namun yang tersisa hanya kekosongan belaka. Ia pun melanjutkan lagi.
“Sadar gak sih? seiring waktu berjalan, hal yang kita selalu sebut dengan ‘seharusnya’ seakan-akan berubah menjadi ‘memang begitu’. Aku pelajari ini darimu. Kupelajari bagaimana waktu bermain dengan rasa. Terasa cepat dan mudah ketika Aku sedang terbang ke langit, namun terasa lambat dan sulit bagiku ketika Aku terhempas kembali ke tanah. Dan kali ini, Aku melihat Kamu, semua tidak sama lagi,”
“….”
“Aku senang mendengar ceritamu lagi, kukira Aku akan lebih kehilangan ketika mendengarmu bercerita. Namun, Aku bahagia,”
“Mengapa begitu?”
“Karena memang seperti ini yang seharusnya”.
Langit gelap mulai menyelimuti mentari sore dan bintang pun mulai bermunculan. Pada saat goresan oranye itu menghilang, aku sadar, rasa itu juga menghilang. Tapi satu yang aku yakini, kamu tidak.