Senin, 13 Oktober 2014

Senin, 13 Oktober (setelah bercerita tentang matahari)

  Malam itu, Ia duduk terdiam di bangku yang telah tersedia. Kedua tangannya ia layangkan ke udara menyapu nyamuk-nyamuk yang tak kunjung pergi.  Nyamuk-nyamuk itu seakan menertawai dirinya yang hanya duduk terdiam sedari tadi. sekali-kali perempuan itu keluar dari lobi hanya sekedar untuk mengecek apakah sinyal telepon genggam itu berfungsi. Ia mengecek sinyal telepon genggam itu sekali lagi, kali ini huruf yang tertera pada ujung kanan atas layar telepon genggam itu menunjukkan ia bisa menelepon untuk meminta dijemput oleh kakaknya.
  "udah di mana?" 
  "kamu itu, gak sabaran banget sih, udah tunggu aja"
  tuuuut telepon ditutup begitu saja, ia malas berargumen dengan kakaknya itu. 
  Ia panik. Bukan karena ini sudah larut malam dan belum di jemput.Bukan juga karena takut kakaknya itu marah. Bukan juga karena badannya yang penuh keringat dan tak sabar ingin mandi. Namun, itu karena seseorang yang ia kenal sedang duduk di pojokkan, merenung, entah mengapa. ia panik, bukan karena renungan lelaki itu. ia panik, karena dia adalah dia. bagi perempuan itu, lelaki yang duduk di pojokkan adalah orang penting. penting bukan untuk orang lain, namun untuk dirinya sendiri. Dan sekarang, saat ini, disini, tersisa mereka berdua, bingung harus  bicara apa dan siapa yang harus memulainya.
  Kejadian seperti ini, bukan untuk pertama kalinya. Kejadian ini pernah terjadi setahun sebelumnya. Kejadian yang berbeda 180 derajat. Ketika mereka untuk pertama kalinya saling berkenalan. Ketika mereka bercerita tentang apa yang menjadi ambisi masing-masing. Dan perempuan itu tahu, hari itu, setelah pembicaraan di antara keduanya berakhir, ada rasa yang muncul dalam hatinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman. Yang ia tak tahu, adalah isi hati dari lawan bicaranya itu. 
  Dan yang ia tak tahu sekarang, adalah apa yang harus dilakukan saat ini. Ia kembali ke tempat asalnya, memutuskan untuk tidak menyapanya sama sekali, ia butuh persiapan. Perempuan itu butuh seluruh semesta untuk memberinya keberanian, untuk sekedar menyapa. Perasaan itu telah hilang berjuta-juta detik yang lalu. Namun saat itu, bagian terkecil dari dirinya berteriak. Ia yakin itu adalah sisa rasa yang sengaja ia simpan jika suatu saat, ia akhirnya tahu apa yang ada di isi hati lelaki itu. 
  Satu menit.. dua menit.. lima menit... sepuluh menit... ia menunggu semesta mengijinkannya untuk bangkit dari tempat duduknya. nyamuk-nyamuk itu masih saja datang menghampirinya, seakan-akan tempat perempuan itu bukan disini. Dan setelah keberanian itu pun akhirnya muncul ia bangkit dari bangku itu dan keluar.
  Lelaki itu sudah tidak ada, pergi begitu saja. Perempuan itu kecewa, bukan karena lelaki itu pergi, namun kepada dirinya sendiri. Karena penasaran, perempuan itu memutuskan untuk duduk di pojokkan, tempat lelaki itu duduk merenung. Ia pun duduk merenung, seperti lelaki itu. Ia memikirkan apa yang dipikirkan oleh lelaki itu ketika duduk disini, melihat di sudut sana terdapat seorang perempuan yang sedang mencari sinyal. Apa yang dipikirkan lelaki itu, ketika perempuan itu berbalik ke arahnya dan melihatnya lalu memalingkan muka. Apa yang dipikirkan lelaki itu, ketika perempuan itu hadir di hadapannya, berdiri dan pergi. 
  Tiada yang pernah tahu, dan tak harus tahu. Sudah setahun lamanya, dan kedua orang itu hanya dapat mengira-ngira. Mereka tak sempat bertanya, bukan karena tak ada ruang dan waktu yang mencukupi. Akan tetapi itu semua karena mereka berdua tak ingin ada yang tahu. Tidak ada usaha yang meyakinkan keduanya harus berbagi cerita seperti yang mereka lakukan ketika pertama kali bertemu. Di kursi yang sama, perempuan itu menyadari sesuatu. Ia tak akan pernah bisa membaca mata, fikiran, ataupun sanggup untuk mendengar suara hati itu. Perempuan itu hanya bisa mengira-ngira dan berharap. Ia berharap lelaki itu tahu. Banyak kata yang tidak sanggup terucap oleh bibir kering perempuan itu. Bahkan hanya untuk mengucap satu kata. Kata yang biasa diucap oleh semua manusia dengan bahasa yang berbeda-beda. Kata yang cukup untuk mengawali suatu percakapan hangat yang diidamkan oleh perempuan itu ketika bertemu dengannya. Satu kata yang harus meminta izin seluruh semesta. Satu kata, yang butuh segala persiapan dan atribut. Satu kata, yang ia butuhkan. Hanya sekedar

"Hai"